Di tengah derasnya pertumbuhan pariwisata dan perkembangan
perkotaan, suatu daerah di Bali, sebuah pemukiman mampu mempertahankan tradisi
berumur ratusan tahun untuk hidup berdampingan dengan gemerlap dunia modern.
Itulah Desa Adat Penglipuran.
Desa adat Penglipuran tepatnya berada di Kelurahan Kubu
Kabupaten Bangli/ kurang lebih 45 km dari kota Denpasar. Apabila ditempuh
dengan kendaraan bermotor akan menempuh kurang lebih satu jam perjalanan. Terletak di ketinggian 700
diatas permukaan laut, menjadikan udara di desa adat penglipuran
tergolong dingin. Keasrian desa adat penglipuran dapat dirasakan mulai dari
memasuki kawasan pradesa. Balai masyarakat dan fasilitas kemasyarakatan serta
ruang terbuka pertamanan, semakin menambah keaslian alam pedesaan. Desa
Adat Penglipuran merupakan satu kawasan pedesaan yang memiliki tatanan spesifik
dari struktur desa tradisional, sehingga mampu menampilkan wajah pedesaan
yang asri. Penataan fisik dan struktur desa, tidak terlepas
dari budaya masyarakatnya yang sudah berlaku turun temurun.
Selain suasana pertamanan yang asri tetapi juga sangat ramahnya
penduduk desa terhadap tamu yang datang. Banyak wisatawan yang datang dapat
menikmati suasana desa dan masuk kerumah mereka untuk melihat kerajinan –
kerajinan yang penduduk desa buat. Sehingga untuk tinggal berlama lama disini
sangatlah menyenangkan.
Desa Adat Penglipuran ini termasuk desa yang banyak melakukan
acara ritual, sehingga banyak sekali acara yang diadakan didesa ini seperti pemasangan
dan penurunan odalan, Galungan, dll. Memang saat yang sangat tepat untuk datang
ke desa ini adalah pada acara tersebut berlangsung, sehingga kita dapat melihat
langsung keunikan dan kekhasan dari Desa Penglipuran ini.
Sangat unik mungkin itu kata yang paling tepat untuk Desa Adat Penglipuran.
Corak pintu gerbangnya atau yang disebut dengan “angkul angkul” terlihat
seragam satu sama lainnya. Penampilan fisik desa adat juga sangat khas dan
indah. Jalan utama desa adat berupa jalan sempit yang
lurus dan berundag-undag. Potensi pariwisata
yang dimiliki oleh Desa Adat Penglipuran adalah adatnya yang unik serta
tingginya frekuensi upacara adat dan keagamaan.
Meski Desa Adat Penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan kearah kemajuan namun tata letak perumahan di masing masing keluarga tetap menganut falsafah Tri Hita Karana.
Meski Desa Adat Penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan kearah kemajuan namun tata letak perumahan di masing masing keluarga tetap menganut falsafah Tri Hita Karana.
Desa
Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman
kerajaan Bangli. Penduduk dari daerah Bayung Gede di Kintamani pindah ke tempat
desa ini berada sekarang. Kata penglipuran berasal dari kata penglipur yang artinya
penghibur, karena semenjak jaman kerajaan , tempat ini adalah salah satu
tempat yang bagus untuk peristirahatan.
Selain itu, menurut masyarakat kata penglipuran juga dipercaya berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti sebagai tempat yang suci untuk mengingat para leluhur. Segala pengembangan fisik desa dan pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Bahkan untuk berbagai upacara adat tertentu masih harus memohon restu ke tanah leluhur tersebut.
Selain itu, menurut masyarakat kata penglipuran juga dipercaya berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti sebagai tempat yang suci untuk mengingat para leluhur. Segala pengembangan fisik desa dan pengembangan budayanya masih mengacu pada tanah leluhur yang masih ada di Bayung. Bahkan untuk berbagai upacara adat tertentu masih harus memohon restu ke tanah leluhur tersebut.
Dan masyarakat Desa Adat Penglipuran percaya bahwa leluhur
mereka berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Dilihat dari segi tradisi,
desa adat ini menggunakan sistem pemerintahan hulu apad. Pemerintahan desa
adatnya terdiri dari prajuru hulu apad dan prajuru adapt. Prajuruhulu apad
terdiri dari jero kubayan, jero kubahu, jero singgukan, jero
cacar, jero balung dan jero pati. Prajuru hulu apad otomatis
dijabat oleh mereka yang paling senior dilihat dari usia perkawinan tetapi yang
belum ngelad. Ngelad atau pensiun terjadi bila semua anak sudah kawin atau
salah seorang cucunya telah kawin.
Mereka yang baru kawin duduk pada posisi yang
paling bawah dalam tangga keanggotaan desa adapt. Menyusuri jalan utama desa
kearah selatan anda akan menjumpai sebuah tugu pahlawan yang tertata dengan
rapi. Tugu ini dibangun untuk
memperingati serta mengenang jasa kepahlawanan Anak Agung Gede Anom Mudita atau
yang lebih dikenal dengan nama kapten Mudita.Anak Agung Gde Anom Mudita,
gugur melawan penjajah Belanda pada tanggal 20 November 1947. Taman Pahlawan
ini dibangun oleh masyarakat Desa Adat Penglipuran sebagai wujud bakti dan
hormat mereka kepada sang pejuang.Bersama segenap rakyat Bangli, Kapten
Mudita berjuang tanpa pamrih demi martabat dan harga diri bangsa sampai titik
darah penghabisan.
Desa
ini menganut tata ruang dengan konsep trimandala, dibagi ke dalam tiga
ruang yang berbeda secara fungsi dan tingkat kesucian, yaitu utama, madya, dan
nista. Letak ketiga ruang ini membujur dari utara (gunung) ke selatan (laut),
dengan jalan desa lurus berundak sebagai poros tengah, memisahkan ruang
madya menjadi dua bagian.
Sebuah falsafah dalam agama Hindu yang selalu menjaga
keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan,
serta manusia dengan Tuhan.
Generasi muda Penglipuran yang hampir seluruhnya menikmati pendidikan formal mulai dari SD hingga perguruan tinggi, tetap melestarikan tradisi yang mereka warisi dari para leluhurnya. Bangunan suci yang terletak di hulu, perumahan di tengah dan lahan usaha tani di pinggir atau hilir. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mulai beralih ke usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Dengan memanfaatkan bambu sebagai bahan bakunya/menjadikan desa penglipuran sebagai komunitas yang unik diantara kemajuan pulau dewata yang semakin pesat.
Generasi muda Penglipuran yang hampir seluruhnya menikmati pendidikan formal mulai dari SD hingga perguruan tinggi, tetap melestarikan tradisi yang mereka warisi dari para leluhurnya. Bangunan suci yang terletak di hulu, perumahan di tengah dan lahan usaha tani di pinggir atau hilir. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani dan kini mereka mulai beralih ke usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga. Dengan memanfaatkan bambu sebagai bahan bakunya/menjadikan desa penglipuran sebagai komunitas yang unik diantara kemajuan pulau dewata yang semakin pesat.
Created by : AMALIA ZULFIA NALIDA (H1B109062)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar